Bab I. Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Media massa memiliki peran yang penting dalam
kehidupan masyarakat. Fungsi media adalah memberikan informasi, menghibur,
serta mendidik. Media tradisional adalah radio, media cetak (koran, majalah,
buku) dan televise. Pada makalah ini, kita akan membahas mengenai televise.
Televise adalah media audio visual, dimana gabungan dari fungsi radio yaitu
audio (mendengar) dan fungsi koran, majalah, buku yaitu visual
(membaca,melihat). Televisi sebagai salah satu media massa yang memberikan
banyak pengaruh bagi khalayak. Seperti teori “agenda setting”, dimana media memang tak menentukan apa yang ada di
benak khalayak, tapi media menentukan isu-isu apa saja yang dianggap penting di
benak khalayak.[1]
Televisi adalah salah satu media massa audio
visual yang berfungsi menghibur, menginformasi dan mendidik khalayak atau
penonton. Penonton dianggap pasif karena hanya menerima konten yang disajikan
di televisi. Termasuk anak-anak, mereka hanya menonton, menyerap dan
memprakterkan hal yang ada di televise. Televise sebagai guru nomor tiga
setelah orangtua dan guru. Banyak hal yang ditampilkan di televise. Televise
seperti jendela, kita hanya perlu meluangkan waktu untuk duduk santai sambil
menikmati makanan ringan dan minum. Dengan duduk di depan televise kita bisa
menjelajah ke luar negeri hal yang tak bisa kita lakukan mengingat finansial
yang mahal. Kita tidak dipungut biaya pada saat menonoton televise lokal,
kecuali televise berbayar.
Televisi adalah salah satu media massa audio
visual yang berfungsi menghibur, menginformasi dan mendidik khalayak atau
penonton. Penonton dianggap pasif karena hanya menerima konten yang disajikan
di televisi. Termasuk anak-anak, mereka hanya menonton, menyerap dan
memprakterkan hal yang ada di televisi. Televise sebagai guru nomor tiga
setelah orangtua dan guru. Banyak hal yang ditampilkan di televisi. Televisi
seperti jendela, kita hanya perlu meluangkan waktu untuk duduk santai sambil
menikmati makanan ringan dan minum. Dengan duduk di depan televisi kita bisa
menjelajah ke luar negeri hal yang tak bisa kita lakukan mengingat finansial
yang mahal. Kita tidak dipungut biaya pada saat menonoton televisi lokal,
kecuali televise berbayar. Iklan di televise membuat anak-anak menjadi
konsumtif dengan cara membujuk orangtua mereka. Acara kekerasan di tayangan
televise sangat berdampak terhadap anak-anak mengingat pertumbuhan mereka masih
rentan dan mereka belajar dari lingkungan sekitar. Apa yang mereka lihat dan
dengar baik atau buruk akan menjadi acuan untuk tindakan mereka
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
manfaat dari televisi?
2.
Apa efek
dari televisi?
3.
Bagaimana
efek tayangan televisi sebagai pendidikan terhadap anak?
4.
Bagaimana
efek interaksi sikap pasif anak terhadap tayangan televisi?
5.
Bagaimana
anak menjadi konsumen televisi?
C.
Tujuan
Tujuan makalah ini adalah mengetahui manfaat
dan efek televis, efek tayangan televisi sebagai pendidikan dan pengajaran
terhadap anak-anak, efek interaksi pasif anak terhadap tayangan televisi dan
anak menjadi konsumen televisi.
Bab II. Efek Tayangan Televisi Terhadap Anak-Anak
A.
Manfaat
dan Dampak Televisi
Televisi
adalah salah satu media massa yang bersifat audio visual. Manfaat televisi bagi
anak adalah
1.
Membantu
memahami dunia sekitar. Anak-anak akan tertolong dalam memenuhi keingintahuan
mereka tentang segala sesuatu yang ada di sekitar kehidupan mereka.
2.
Membantu
proses belajar baca tulis dan melek visual. Televise menyajikan beragam program
acara dan iklan visual yang dapat mempermudah anak untuk mengenal dan menguasai
huruf.
3.
Memperluas
wawasan/membukaan cakrawala. Televise menyajikan beragam kompleks dimana
orangtua diminta untuk memantau dan membantu mereka menjelaskan hal tersebut.
4.
Memperkaya
pengalaman hidup. Anak-anak bisa mengetahui kehidupan senang dan penderitaan
orang lain.
5.
Menunjang
pelajaran sekolah terutama dalam pengetahuan umum. Perlunya bimbingan orangtua
untuk memilih informasi yang baik dan bagus untuk anak-anak mereka.
6.
Memberikan
sambungan dengan dunia global. [2]
Dampak televisi yaitu :
1.
Kurang
dapat membedakan khalayan dengan kenyataan. Dengan kemampuan berpikir yang
masih amat sederhana, dapat memaklumi jika anak-anak cenderung menanggap apa
saja yang tampil di layar televise adalah sesuatu hal yang nyata.
2.
Konsumtif.
3.
Peniruan
perbuatan kekerasan. Acara yang menampilkan kekerasan seperti smack down, kartun naruto, sinchan akan
berdampak kepada anak-anak.
B.
Kekerasan
di Televisi
Televisi membantu
anak muda masuk ke mainstream
masyarakat dengan menunjukkan perilaku dan norma di dalam masyarakat.
Pembelajaran observasional adalah ketika anak-anak mempelajari perilaku yang
menyimpang dari media tersebut. di California, dua remaja berumur 13 tahun,
menunggu kedatangan seoran ayah dari kawan mereka di rumahnya sendiri lalu
menyerangnya. Mereka memukulinya dengan kayu bakar, menendangnya dan
menikamnya, lalu mencekiknya sampai tewas dengan rantai anjing. Mereka kemudian
menuangkan garam ke lukanya. Di pengadilan mereka menyatakan bahwa “media telah
membuat saya melakukannya”. Teori pembelajaran observasional adalah orang
mempelajari perilaku dengan melihatnya dalam kehidupan nyata dalam
penggambaran.[3]
Sebagian besar
tayangan televisi adalah sinetron dimana terkandung begitu banyak
adegan-adegan kekerasan baik fisik maupun mental, bahkan pada
sebuah penelitian dikatakan selama masa sekolah, anak-anak menyaksikan
87.000 tindakan kekerasan dalam televisi. Dengan demikian terutama bagi
anak-anak yang pada umumnya selalu meniru apa yang mereka lihat, tidak
menutup kemungkinan perilaku dan sikap anak tersebut akan mengikuti acara
televisi yang ia tonton. Seperti kasus bunuh diri seorang fans
Limbad, Heri Setiawan (12) karena melihat tayangan Master Limbad. Ia Ditemukan
Tergantung di ranjang tingkat. Limbad dituduh menjadi penyebab
kematian penggemarnya itu. Namun menurutnya, dalam hal ini yang patut
disalahkan adalah orang tua. Karena anak terlalu diberi kebebasan dalam memilih
tayangan televisi.[4]
Teori kultivasi
adalah memusatkan perhatian pada pengaruh media komunikasi khususnya televisi.
Apa yang di televisi seolah-olah terlihat nyata. Pada acara televisi, pembantu
rumah tangga digambarkan sebagai wanita yang hidup menderita, suka duruh-suruh,
lemot. Pejabat pemerintah adalah orang yang munafik dan terkait korupsi.
Anak-anak menganggap acara smack down,
naruto dengan adegan kekerasan pukul-pukulan, dan sinchan dengan adegan anak
yang genit, agresif dan ada unsur seks. Hal ini tentunya mempengaruhi persepsi
seseorang terhadap kehidupan.[5]
Teori Peniruan atau
imitasi juga sangat berpengaruh karena tayangan kriminal, kekerasan di televisi
akan membuat anak-anak mengikuti hal tersebut. perlunya bimbingan orangtua
untuk menemani mereka pada setiap mereka berhubungan dengan media termasuk
televisi.
C.
Televisi
Pendidikan dan Pengajaran
Menurut Bitter, televisi
dikenal dengan istilah Televisi Pendidikan (Educational
Television) atau ETV dan istila Televisi Pengajaran (Instructional Television) ITV. ETV adalah siaran nonkomersial yang
melengkapi acara hiburan di televise, seperti TVRI. Televisi memiliki peran
penting dan berfungsi sebagai pengajar, artinya untuk menunjang pengajaran
televisi. H:168.TVRI biasanya suka menampilkan acara pelajaran bahasa Inggris,
matematika, fisika, kimia. Semua hal yang menyangkut Ujian Akhir Nasional (UAN)
dibahas di TVRI serta mengajak siswa prestasi juga untuk ikut andil menjawab
soal pada acara pelajaran tersebut.
Sifat televisi
adalah bisa didengar dan dilhat , disamping itu juga langsung, intim, dan
nyata. Menurut R. Benschofter, pelajar yang bisa diingat melalui media audio
visual, setelah tiga hari, bisa 65%, sedangkan
melalui media dengar hanya 10% dan media pandang/visual hanya 20%.
Televise menciptakan komunikasi antarpersonal yang mempengaruhi kognitif,
afektif dan konasi dari anak-anak (penonton). Wilbur Schramm dan G.C telah banyak
meneliti kefektivan televisi bahwa setelah menelaah 421 perbandingan antara
pengajaran lewat televise dan pengajaran di sekolah formal, dengan menggunakan
berbagai materi pelajaran, terbukti siswi-siswa di semua tingkatan sama-sama
dapat belajar dengan baik lewat ekdua metode tersebut. Schramm juga menandaskan
tidak diragukan lagi bahwa televise dapat mengajar dan memberi penerangan. [6]
D.
Berinteraksi
dengan TV dalam Sikap Pasif
Anak-anak menjadi
penonton segala acara di televisi. Menurut Jean Piaget seorang psikolog
Prancis, anak-anak muali usia 7-8 tahun akan mulai kritis terhadap
lingkungannya. Pada masa ini anak-anak mulai mempertanayakan tentang lingkungan
sekitar dan diri mereka sendiri maka hal ini yang membuat kritis anak terhadap
acara televisi. Memang ada regulasi pada acara yang bertuliskan BO (Bimbingan
Orangtua). Dalam menonton televise, perlu adanya bimbingan orangtua pada setiap
acara termasuk acara kartun.
Era globalisasi ini
membuat anak mau tidak mau terperangkap dalam banjir informasi dan hiburan.
Pola berinteraksi antara anak dan orangtua ketika menonton televise akan
menumbuhkan daya kritis anak ketiak mereka mempertanyakan mengenai sesuatu hal
yang ada di balik bingkai televisi. Dengan menonton TV bersama orangtua,
orangtua mengetahui persepsi dan penilaian anak terhadap adegan yang
ditayangkan TV pemahaman anak yang salah bisa di luruskan oleh orangtua.
Kesadaran kritis anak dalam menonton TV perlu ditumbuhkan mengingat umur mereka
yang rentan terhadap pengaruh dan mudah melakukan peniruan.[7]
E.
Anak
Konsumen Televisi
Dunia industri
media berkaitan dengan ekonomi politik. Penonton khususnya anak-anak adalah
konsumen bagi dunia bisnis industri. Televisi menampilkan iklan yang
mendominasi produk anak-anak seperti mainan, makanan (coklat,permen), sandang
pangan, obat-obatan sampai kosmetik. Kurangnya memaknai makna perilaku
konsumtif membuat anak ingin memiliki apapun, terutama yang diiklankan di televisi.
Anak menganggap bahwa manusia harus memiliki barang yang diiklankan.
Peran orangtua
sangat penting untuk mengatur hawa nafsu anak-anak mereka dengan memberitahu
manfaat atau tidak dari barang yang diiklankan. Namun, anak-anak akan
mengeluarkan seluruh upayanya agar dapat restu dari orangtua untuk dibelikan
barang tersebut. mereka mulai menangis, merengek, dan berguling-gulingan.
Anak-anak meneror orangtua mereka dengan linangan air mata, mata
memelas.anak-anak memang belum mampu mengambil keputusan, namun tanpa disadari
anak-anak diminta merayu dengan gaya lemah mereka untuk mempengaruhi orangtua
agar terbujuk dan akhirnya membeli barang tersebut.[8]
Mosco
menyatakan bahwa komodifikasi ada tiga yaitu Komodifikasi isi, komodifikasi
khalayak dan komodifikasi pekerja. Salah satu yang akan dibahas adalah
komodifikasi khalayak. Komodifikasi ini menjelaskan bagaimana sebenarnya
khalayak tidak secara bebas hanya sebagai penikmat dan konsumen dari budaya
yang didistribusikan emdia. Tapi juga sebagai komoditi untuk bisa dijual. Hal
ini tentunya terkait dengan perusahaan media, pengiklan dan khalayak itu
sendiri. Jika acara televise rating tertinggi artinya acara tersebut diminati
dan banyak ditonton khalaya begitu juga dengan share dari khalayak.[9]
Komodifikasi khalayak ini merupakan proses media menghasilkan khalayak untuk
kemudian menyerahkannya kepada pengiklan.[10]
[1]Ade
Armadno dkk. 2011. Media dan Integrasi
Sosial. Jakarta:Center for The Study of Religion and Culture (CSRC).H.3
[2] Ibid.h :205.
[3]Little
John. The Media of Mass Communication. 2008.(dialihbahasakan oleh Tri Wibowo B.S
dengan judul Teori Komunikasi
Massa). Edisi Kedelapan. Jakarta: Kencana. H:485.
[5] http://denontarr.blogspot.com/2008/11/teori-peniruan-atau-imitasi.html, diakses 31 Desember 2012, 21:30 WIB.
[6]Deddy
Mulyana&Idi Subandy Ibrahim. 1997. Bercinta
dengan Televisi : Merindukan Televisi
Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. H:167-173.
[7] Ibid. h:176-178.
[8] Ibid. h:185-188.
[9]
Rulli Nasrullah. 2012. Komunikasi Antarbudata Di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana. H;169.
[10]
Ika Lestari. 2009. Pemaknaan Komodifikasi
Anak-Anak Di Televisi. Thesis : Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi. Volume
VIII/No.2. h: 265.